Awan itu menggambarkan kemenangan
indah, kala ia menjadi biru terang benderang tanpa dilewati oleh sekelompok
besi panas penyebar bala. Malam itu tak ada yang bergerak dari pemukiman dan
rumah sakit. Biasanya tanda seperti ini mengindikasikan ledakan besar secara
tiba-tiba. Kakekku mengintip dari belakang celah tembok kayu. Matanya menyusuri
alam neraka disisi lain dari tembok kayu.
Aku mencoba menyalakan radio menggunakan baterai yang dibawa oleh tentara-tentara pembunuh para petani. Jemariku tak tahan untuk terus memutar bulatan berigi-rigi radio kecil milik almarhum ayahku. Gelombang AM adalah gelombang pembawa pesan paling mewah yang dimiliki oleh rakyat Palestina. 97 AM menginformasikan persetujuan tentara zionis untuk menerima batalyon anyar dari Tel Aviv. Sulaiman memelukku dengan hangat, air matanya setiap hari membasahi dada, padahal setahun yang lalu kami berdua masih dapat bermain bola kain walaupun hal itu ditengah camp perbatasan. Namun seiring orang menganggap wajar perbuatan mereka yang mengatasnamakan perdamaian. Maka kaum yang memimpikan perdamaian ini tambah sengsara. Disinilah aku meratapi diriku sendiri. Aku punya kakek dengan tangan kiri cacat total, Sulaiman adikku baru berumur enam tahun. Sementara aku baru genap berumur enam belas tahun bulan Desember nanti, namun yang lebih parah lagi aku tak tahu bulan apa sekarang.
Kakek mengajak kita keluar, mencari makanan apapun, desa Azzun memang terkenal dengan keganasannya. Namun tak menutup kemungkinan ada relawan yang diam-diam menebarkan makanan diluar. Kita berlari penuh asa keluar, daar.. tiba-tiba kami tidak bisa mendengar dan terpental sejauh 5 meter. Tulangku berusaha bergerak untuk bangun, berlari dari benda yang ditebarkan setan pencabut nyawa itu. Kakek tergeletak, aku tidak tega melihat Sulaiman, kaki kirinya putus, ia memang didepan tadi, karena ia melihat sinar salah satu tenda milik relawan. Dia seperti berteriak namun telingaku belum bisa mendengar. Aku menangis sambil memeluknya, berteriak minta bantuan siapapun yang datang. Tak terkecuali tentara suntikan yang kebetulan lewat. “tembaklah aku, tembaklah aku…”. Sulaiman menghapus air mataku, ia tidak teriak ternyata. Apa yang ia lakukan? ia hanya menambah air mataku jatuh. Aku membuka bajuku dan merobeknya dan mengikatnya di bagian pangkal kaki Sulaiman yang putus. Ia tersenyum padaku. Lalu tanganku mencoba meraba tangan kakek. Bom kedua dijatuhkan, tenda yang Sulaiman melihatnya ternyata punya warga sipil, itu sebabnya Israel mengebom tenda usang itu. Kami melihatnya terbakar, tak ada tanda-tanda kehidupan lagi disana. Sulaiman menatapku, ia tampak sangat pucat, sementara kakek belum sadar juga. Bom ketiga dijatuhkan sekitar empat meter dari samping kiriku. Aku menggotong Sulaiman dan meninggalkan kakek sendirian. Tak ada yang memerintah, kecuali benakku. Anehnya Sulaiman tak berteriak walaupun sedikit demi sedikit air matanya keluar dari samping kelopak, membuat jalan kesedihan dikedua bidang pipinya sambil berkata, “alangkah gembiranya hidupku ini..” . Bahkan Sulaiman mengajarkanku untuk diam ketika sakit mendera, ia melihat terus mataku yang sama-sama mngeluarkan air mata, namun lebih deras dan besuara.
Aku mencoba menyalakan radio menggunakan baterai yang dibawa oleh tentara-tentara pembunuh para petani. Jemariku tak tahan untuk terus memutar bulatan berigi-rigi radio kecil milik almarhum ayahku. Gelombang AM adalah gelombang pembawa pesan paling mewah yang dimiliki oleh rakyat Palestina. 97 AM menginformasikan persetujuan tentara zionis untuk menerima batalyon anyar dari Tel Aviv. Sulaiman memelukku dengan hangat, air matanya setiap hari membasahi dada, padahal setahun yang lalu kami berdua masih dapat bermain bola kain walaupun hal itu ditengah camp perbatasan. Namun seiring orang menganggap wajar perbuatan mereka yang mengatasnamakan perdamaian. Maka kaum yang memimpikan perdamaian ini tambah sengsara. Disinilah aku meratapi diriku sendiri. Aku punya kakek dengan tangan kiri cacat total, Sulaiman adikku baru berumur enam tahun. Sementara aku baru genap berumur enam belas tahun bulan Desember nanti, namun yang lebih parah lagi aku tak tahu bulan apa sekarang.
Kakek mengajak kita keluar, mencari makanan apapun, desa Azzun memang terkenal dengan keganasannya. Namun tak menutup kemungkinan ada relawan yang diam-diam menebarkan makanan diluar. Kita berlari penuh asa keluar, daar.. tiba-tiba kami tidak bisa mendengar dan terpental sejauh 5 meter. Tulangku berusaha bergerak untuk bangun, berlari dari benda yang ditebarkan setan pencabut nyawa itu. Kakek tergeletak, aku tidak tega melihat Sulaiman, kaki kirinya putus, ia memang didepan tadi, karena ia melihat sinar salah satu tenda milik relawan. Dia seperti berteriak namun telingaku belum bisa mendengar. Aku menangis sambil memeluknya, berteriak minta bantuan siapapun yang datang. Tak terkecuali tentara suntikan yang kebetulan lewat. “tembaklah aku, tembaklah aku…”. Sulaiman menghapus air mataku, ia tidak teriak ternyata. Apa yang ia lakukan? ia hanya menambah air mataku jatuh. Aku membuka bajuku dan merobeknya dan mengikatnya di bagian pangkal kaki Sulaiman yang putus. Ia tersenyum padaku. Lalu tanganku mencoba meraba tangan kakek. Bom kedua dijatuhkan, tenda yang Sulaiman melihatnya ternyata punya warga sipil, itu sebabnya Israel mengebom tenda usang itu. Kami melihatnya terbakar, tak ada tanda-tanda kehidupan lagi disana. Sulaiman menatapku, ia tampak sangat pucat, sementara kakek belum sadar juga. Bom ketiga dijatuhkan sekitar empat meter dari samping kiriku. Aku menggotong Sulaiman dan meninggalkan kakek sendirian. Tak ada yang memerintah, kecuali benakku. Anehnya Sulaiman tak berteriak walaupun sedikit demi sedikit air matanya keluar dari samping kelopak, membuat jalan kesedihan dikedua bidang pipinya sambil berkata, “alangkah gembiranya hidupku ini..” . Bahkan Sulaiman mengajarkanku untuk diam ketika sakit mendera, ia melihat terus mataku yang sama-sama mngeluarkan air mata, namun lebih deras dan besuara.
Apa yang
terjadi? Bibirnya memucat, kegemesannya hilang dari pipi basahnya, ia menutup
mata, nampaknya Sulaiman terlalu banyak mengeluarkan darah dari lututnya yang
tanpa penyangga lagi. Aku terus mencari rumah sakit untuknya, untungnya kota Qalqiliya
tidak seluas dulu, aku dapat mencari rumah sakit kecil dengan berlari terus.
Mata ini mulai buram melihat jalan tanah, kepalaku mulai berat begitu juga
dengan kakiku, dari jauh ada ambulan aktivis terlihat, aku tidak bisa melihat
darimana mereka datang, aku tersungkur, sinar mobinya semakin terang dan hal
itu tidak bisa kuteruskan lagi lihat.
Aku terbangun
seperti orang yang baru terlahir, pusingku menghampiri. Membawaku ke sebuah
tempat yang bernama kamar. Mereka beramai-ramai mendoakanku seperti ibu dan
keluargaku. Mereka mungkin adalah orang-orang dari seluruh dunia yang tak tega
melihat kami karena kami tak tahu apakah ada negeri lain selain negeri kami?
Apa itu bahagia? Siapa orang tuaku? Dan sebagainya. Anehnya lapar yang menemani
perutku seketika hilang, aku ditanya darimana dan siapa nama orangtuaku. Ia
memakai baju hitam berlogo burung didadanya. “ Azzun, Sadr” ia lalu memberiku
roti yang sepertinya sudah dihancurkan lalu diberi air. Memang tak berasa,
namun hal ini yang paling aku impikan. Tersirat dibenakku, dimana Sulaiman? Aku
berteriak dimana Sulaiman, dimana Sulaiman kepada perempuan yang menanyaiku,
lalu ia tersenyum sambil menahan air matanya keluar. Apakah Sulaiman itu yang
kau gendong, dan kakinya..” ia tidak bisa melanjutkan, lalu kujawab, “Ya betul
itu adikku, dimana dia? Bagaimana keadannya?”. Sebenarnya ketika kau gendong
itu Sulaiman sudah meninggal, ketika kau tersungkur kami langsung berupaya
menyelamatkan adikmu, namun memang kami manusia yang tidak bisa membangunkan
orang mati, “Aku tak percaya, matakku mengeluarkan air mata tanpa kusadari.
Inikah manusia? Apakah kami berperang melawan para hewan? Betapa kecewanya aku
yang tak bisa melindunginya, bagaimana kakekku yang ku abaikan, apakah hanya
aku yang punya nyawa berharga? Apakah mereka bekerja sama dengan tuhan? Apakah
Tuhan menghukum kami dengan musibah ini? Tentunya aku tidak akan bergabung menjadi
setan setan mereka dengan menyalahkan Tuhan. Tuhan tahu mana yang salah, dan
kami memang ditakdirkan untuk menang yang diwali dengan penderitaan. Walaupun
kami tidak tahu kapan kemenangan akan jatuh di kulit-kulit kami.
Benakku bergerak,
sejenak ku melihat ruangan panjang rumah sakit ini. Semua orang sibuk dengan
pelajaran-pelajarannya, sibuk dengan perintah benak-benak mulia yang diciptakan
oleh Tuhan. Apakah semua orang punya benak? Aku pikir disini adalah tempat yang
tidak baik buatku, benakku yang mengatakan itu, dan aku tak pernah tak percaya
kepada benakku. Setelahku dinyatakan sembuh oleh para relawan tadi, aku akan
mulai kehidupan baru tanpa keluargaku satupun. Ya betul, satupun. Air mata ini
akan menjadi saksi bahwa orang-orang yang memutus kaki Sulaiman tak punya
benak, bahkan akalpun mereka tak punya, bahkan rasa pun tak punya. Aku pernah
mendengar sebuah berita dari negara Irak, aku mendengarnya diradio. Selain yang
terbunuh warga seperti di Palestina, disana tentara-tentara barat pun tidak
sedikit yang terbunuh. Namun semua itu disangkal oleh warganya, tak ada saksi
yang menyimak bahwa mereka memang dibunuh. Lalu berita radio itu melanjutkan
bahwa ternyata tentara-tentara itu terbunuh dalam suatu ruangan tertutup dengan
tali di lehernya dan tergantung di pondasi atap rumah. Pertama kali aku
berfikir mendengar cerita ini mungkin menurut tentara barat di Irak, lebih
indah tergantung membunuh diri sendiri dari pada membunuh akalnya. Mereka lebih
baik bunuh diri ketimbang membunuh balita yang sedang berjalan-jalan ditanahnya
sendiri.
Setelah berfikiran tadi aku sadar
kemballi ke dalam kehidupanku sendiri. Aku mulai berfikir untuk pergi dari
tempat empuk ini. Relawan itu masuk dan memeriksaku lagi, “ufti[1]
“ panggilku ragu. “Apakah aku sudah sembuh?” Dia tidak menjawab apapun, hanya
memeriksa. Ya dia dari negara Eropa mungkin. Aku tahu orang Eropa itu rambutnya
berwarna cokelat dan hidungnya mancung. Aku tahu dari bapakku. Dulu sebelum
keadaan ganas seperti ini bapakku pernah ke masjidil Aqsha. Hah mungkin relawan
ini tidak tahu apa maksudku pasti. Dag.. tiba-tiba pintu ruangan panjang yang
aku tempati bersama anak-anak lain terbuka, seorang relawan menggotong satu
remaja yang baru tertembak. Ia memegangi tulang rusuknya sebelah kanan, tanda
bagian itu yang terkena tembakannya. Relawan itu berlari-lari kecil melihat
tidak ada kasur yang kosong untuk operasi dadakan. Aku langsung berdiri dan
menawarkannya. Relawan itu langsung menidurkan remaja tersebut yang masih dapat
melihatku. Ia sempat berucap syukron
ke padaku. Aku tersenyum dan diam-diam aku mulai pergi dari ruangan panjang
itu. Tidak ada lagi makanan gratis yang lembut, tidak ada lagi minuman yang
dingin, dan tidak ada lagi kasur yang empuk. Aku keluar dengan tatapan kosong.
Sampai keluar dari rumah sakit besar itu benakku bergerak menuruni jalanan yang
panjang, menuntun ke terowongan yang redup tanpa secercah cahaya. Terus
berjalan, masuk ke dalam gang-gang sempit yang mudah untuk dihancurkan.
Tiba-tiba aku melihat adanya gerombolan anak-anak dipojok gang itu. Ia
melihatku dengan menodongkan senjata. Aku tak peduli dan mulai meminta makanan
yang ia genggam. “Aku bersusah payah untuk mengambil ini, dari pos iblis. Kamu
tahu? “ katanya.
“Aku tak peduli, aku sangat lapar, bolehkah ?” jawabku.
“ Ini mudah, kau bergabung denganku dan teman-temanku“. Ia
menawari perang, mungkin itu hal yang paling kubenci saat ini. Namun ketika aku
menggenggam kaki Sulaiman, aku marah, ingin sekali ku mencoba membunuh tentara
yang mengudara tadi.
“Baiklah” jawabku. Kemudian ia menjulurkan tangan bersama
roti keras miliknya. Aku akhirnya makan dengan lahap. Ia melanjutkan, “Ya Allah
inilah saudaraku dengan segala kekurangannya. Ia sekarang tentara-Mu dengan
segala kelebihannya.” Aku tak sengaja berucap amin. Ia membawaku ke gang yang
tak pernah ku lalui sebelumnya. Sampai ia mulai berhenti di satu pintu yang tak
bisa kulewati jika kami tidak bisa jongkok. “Inilah markas kami, kami para
garda beristirahat di tempat ini.” Aku mengangguk-angguk. Tempat itu sedikit
udara dan cahaya. Susah untukku memulai adaptasi ini.
Datanglah
empat orang tua dengan pistol panjang. Ia lumayan ramah, lalu menanyakan nama
dan asal tempat tinggalku.
“ Mahdan, Haifa.” Kataku. Ia mulai menanyakan pertanyaan
lanjutan. “Mengapa kau bisa sampai Qalqiliya? “
“Aku lari dari pengungsian karena tenda kami dipindahkan”
kataku.
Ia mulai memberi pernyataannya “Mungkin yang paling tepat
adalah pengusiran, semua orang disini tidak ada yang seberuntung kau. Anakku
tewas saat pengusiran di Jaffa. Dua tembakkan yang menyedihkan. Di jantung satu
dan satu lagi disini”. Ia menunjuk ke kepalaku. Aku mulai ketakutan. Apakah
semua orang ini gila? Darimana mereka mendapat semua senjata ini?
“Ada satu syair yang selalu membuat kami terdiam sejenak dan
kembali semangat menembak. Sebenarnya boleh kami bercerita Hamas yang membiayai
kami. Sementara Fattah hanya partai yang mengusung perdamaian tanpa dasar saja.
Kau tahu itu.”
Apa yang ia bicarakan? Tapi aku tak buta, aku tahu Hamas dan
Fattah adalah dua partai pada pemilu aneh empat tahun yang lalu. Hamas unggul
waktu itu, bapakku yang mendukung Hamas dan banyak orang dipengungsian waktu
itu memilih Hamas. Namun sudah lama aku tak mendengar nama partai itu sampai
bapak berjanggut putih ini menyebutkan namanya lagi. Ternyata diam-diam Hamas
melawan tentara Israel. “Lalu dimana
sekarang Fattah?” kataku.
“Hmm.. kita tak pernah
tahu dimana mereka sekarang, mungkin dimeja perundingan dan tertidur. Lupa pada
kami, pada rakyat-rakyat yang pernah memilihnya, lupa pada tanah-tanah kami.
Berapa umurmu nak? Tanyanya.
“Bulan apa sekarang? Desember aku akan berumur 16 tahun.
Muharam tepatnya.” Kataku
“Sekarang bulan haji, Oktober. Aku akan melanjutkan syair
yang membuat kami terdiam sekaligus semangat. Sebenarnya ini tentang kau,
Fahmi, dan Ali. Ini mengingatkan masa mudaku” Oh ternyata roti keras itu milik
Fahmi, ia yang sombong dan memakai persyaratan segala untuk meminta roti keras
itu. Bapak itu melanjutkan,
“ekhem ekhem ..
Tak ada sesuatupun yang indah kecuali
bunga kenangan
Sebagian mereka terbang bersama ingatan muda
Bunga itu dihirup oleh kerinduan dan menari-nari dalam pikiran
Remaja yang harusnya mencintai para gadis jelita
Malah bercinta dengan kepingan peluru baja
Tak ada puisi, tak ada bukti, tak ada hati
Remaja oh remaja..
Kau tak pantas hidup di Laut hati.
Disini kau tampak binasa oleh musibah ini
Disini kau tampak cacat oleh tanahmu sediri
Sebagian mereka terbang bersama ingatan muda
Bunga itu dihirup oleh kerinduan dan menari-nari dalam pikiran
Remaja yang harusnya mencintai para gadis jelita
Malah bercinta dengan kepingan peluru baja
Tak ada puisi, tak ada bukti, tak ada hati
Remaja oh remaja..
Kau tak pantas hidup di Laut hati.
Disini kau tampak binasa oleh musibah ini
Disini kau tampak cacat oleh tanahmu sediri
Semua menangis dan menikmatinya. Fahmi pun menangis sambil
mengusap-usap AK-47. “Inilah akhir semuanya, ketika kau menjadi remaja disini,
kau salah. Karena kau wajib untuk menembak mereka yang membunuh sanak keluarga
mereka, itu kewajiban. Diplomasi yang dilakukan sekarang hanyalah sebuah hal
yang sia-sia. Lihat Fattah, mereka telah berunding mengelilingi dunia tak ada
hasilnya. Senjata lah yang menang disini.”
Apa yang
terjadi dalam pikiranku campur aduk, disatu sisi pernyataannya benar, namun
apakah mereka sering mempengaruhi orang untuk mengangkat senjata. Aku
memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah yang dilakukan oleh bapak ini ada
kepentingan orang?” Ia lalu tertawa, tanda mengejek. Ia menjawab, “Kalau apa
yang kita lakukan ini dilakukan demi Hamas, atau Fattah, atau kakekku, untuk
apa aku banyak berbicara pada kau, pada remaja-remaja ini, pada teman-temanku
ini, saya bisa berjuang sendiri dan mengorbankan diriku sendiri.” Katanya.
Semua keluar
tanpa baju perang dan senjata. Kita berwudhu dengan khidmat memakai sisa minum.
“Fahmi mengapa kau tidak shalat?” kataku. “Oh ia, maaf aku seorang nasrani”
jawabnya. Aku terheran-heran, untuk apa orang nasrani berperang? Mengapa Fahmi
namanya namun ia adalah seorang nasrani? Yang jelas perang ini untuk tanah hak
kita, bukan perang agama. Setelah shalat shubuh, semua berpencar, misi kami
mencari makanan dan amunisi di dalam lubang dekat kali-kali, atau pusat kota.
Lubang ini adalah hasil kerja tangan rakyat bangsaku. Sungguh bangga kami dapat
membuat berpuluh-puluh kilometer terowongan illegal. Aku tampak asing masuk
terowongan ini. Sempit, sesak, dan panas menjadi suasana garda revolusi yang
menggelora. Kubawa dua lipat roti dan aku langsung keluar sendirian. Ali masih
didalam. Aku melihat heli terbang diatas kepalaku, tanpa berfikir panjang aku
berlindung disebuah bangunan yang masih berdiri dekat terowongan itu. Lalu aku
berlari lagi ke dalam bangunan rusak bekas sekolah yang dibombardir oleh tank binatang. Aku melihat sendiri, helicopter
itu mendaratkan dua tentaranya bersenjata lengkap lalu melempar bom waktu,
mungkin CD-4 yang pernah ditemukan ayahku. Lalu helicopter itu membawanya
terbang dan menghilang, tidak lama ledakan besar menggetarkan tanah yang
kupijak. Sungguh ironis Hilmi. Aku tak dapat menahan nangis lagi, kutumpahkan
semuanya didalam bangunan itu sampai malam.
Paginya
kuberanjak dengan mata lebam, roti itu masih bersisa banyak namun tak enak
lagi, sebab malam kemarin aku santap malam bersama tikus dengan romantis. Tanpa
tujuan, itulah pikiranku. Aku sudah tak peduli tentara datang dan menembakku
lalu menelanjangiku sebagai tanda untuk menghina bangsa kami. Jalan itu lurus,
penuh debu dan sepi. Aku melihat mobil datang dengan tergesa-gesa lalu berhenti
mendadak. Aku tak mempedulikannya, namun ia mengajakku ke negeri Australia
katanya. Ia akan ke Gaza lalu menaikki kapal. Aku tak mempedulikan apa yang dia
khayal lalu mengatakkannya kesana kemari. Tapi mungkin ia punya minuman,
akhirnya aku ikut dengannya. “Apa kau punya air?” tanyaku. “Ya ada, ambilah
dibelakang,” ia melanjutkan “ kenapa kau sampai ada disini? “
“Aku tak tahu, mungkin tuhan punya kehendak yang lain. Kau
sendiri mengapa sampai bisa membawa mobil ini? ”
“Aku adalah seorang Yahudi, aku mengajakmu karena aku adalah
seorang aktivis. Jika aku tidak menghentikan langkahmu, kau akan bertemu para
prajurit Amerika disana. Aku bebas mengendarai sesuka hatiku karena aku adalah
mandor pasukan 5 Al-Quds. Walaupun
aku tak bekerja apa-apa, malahan akulah yang banyak menggagalkan muslihat jahat
Netanyahu”
“Bagaimana bisa? Australia itu apa? Lalu Netan.., Netan siapa?
Itu siapa? Kataku.
“Aku seorang Yahudi namun bukan seorang zionis, aku lahir
dari keluarga yang berada dan dihormati. Hey apa pedulimu? Jawabnya. Sampai
malam ia bercerita bahwa ia hampir saja ketahuan menjadi musuh zionis sampai ia
ditunjuk menjadi panglima bayangan. Di akhir cerita aku ketiduran dan tak ingat
sampai mana ia bercerita.
Sampai di
Gaza ia berbicara menggunakan bahasa yang tak kupahami dengan tentara. Tentara
itu hormat dan memberi mereka tumpangan sampai Mesir menggunakan kapal laut. Aku
ikut dan ingin tahu seperti apa Australia itu. Diperjalanan, pak tua itu tidak
banyak berbicara, ia diam melihat lautan. Setibanya di Mesir pukul dua pagi aku
lihat dermaga kecil. Orang-orang banyak yang berpelukan hangat. Setelah
lama-lama menunggu ternyata kita memakai perahu kembali. Namun perahu ini lebih
kecil walaupun lebih cepat. “Apakah kita benar-benar ke Australia?” tanyaku
kepada pak tua itu. “Kita optimis saja, semoga angin tidak menerpa kita. Kau
tidur saja.” (sambil menawarkan satu botol air putih)
“Baiklah aku tidur, bolehkah aku menghabiskan minuman ini?
Tanyaku.
“Ya silahkan, itu lebih baik”.
Aku memang terasa pusing hari-hari ini, mungkin karena
menahan tidur cukup lama, dan akhirnya aku tertidur.
Aku melihat
satu cercah cahaya yang amat terang, namun itu bukan matahari, tapi lampu.
Tepat, aku berada dirumah sakit sekarang. Aku terbangun dengan rasa sakit
diperut sebelah kananku. “Ahhh…” jeritku. “Apakah kau sudah sadar nak?”. Tanya
pak tua.
“Ada apa ini? Kenapa aku disini, ah sakit…”
“Kau kuperiksa, ternyata kau punya sebuah penyakit berat dan harus segera dioperasi. Kita sekarang di Indonesia. Negara diatas Australia, tempat ini lumayan bagus. Indonesia adalah tempat impian kaum remaja sepertimu” jawabnya.
“Benarkah? “ Tanyaku
“Ya, tidurlah sekarang, besok kita jalan-jalan” jawabnya.
“Kau kuperiksa, ternyata kau punya sebuah penyakit berat dan harus segera dioperasi. Kita sekarang di Indonesia. Negara diatas Australia, tempat ini lumayan bagus. Indonesia adalah tempat impian kaum remaja sepertimu” jawabnya.
“Benarkah? “ Tanyaku
“Ya, tidurlah sekarang, besok kita jalan-jalan” jawabnya.
Sekali lagi pak tua itu memang sangat baik, aku tak sabar
untuk hari besok tiba.
Besoknya,
dia memang mengajakku jalan-jalan. Aku lihat Indonesia ini seperti surga. Mungkinkah aku hanya bermimpi? Dimobil aku
melihat pak tua tak berbicara apa-apa, aku mulai berbicara, ”Afwan, dari mana
mobil ini? Lalu mobilmu yang dulu kemana?”
“Hahaha, biarkan itu urusanku, kau jangan banyak pikiran.” Jawabnya. Keherananku tersapu dengan banyaknya pemuda sepertiku yang bebas. Sayangnya mereka terlalu banyak tertawa bila dilihat. Tiba-tiba pak tua itu berhenti disuatu penginapan yang sangat kotor. “Kita akan hidup disini sekarang” kata pak tua. Aku sangat kegirangan, namun mulai menagis. Kasihan kakek, Sulaiman, ibu, bapak, nenek, pamanku. Seandainya kita di tempat ini bersama.
“Hahaha, biarkan itu urusanku, kau jangan banyak pikiran.” Jawabnya. Keherananku tersapu dengan banyaknya pemuda sepertiku yang bebas. Sayangnya mereka terlalu banyak tertawa bila dilihat. Tiba-tiba pak tua itu berhenti disuatu penginapan yang sangat kotor. “Kita akan hidup disini sekarang” kata pak tua. Aku sangat kegirangan, namun mulai menagis. Kasihan kakek, Sulaiman, ibu, bapak, nenek, pamanku. Seandainya kita di tempat ini bersama.
Setelah
semuanya beres, aku keluar, perutku terasa sangat sakit. Tiba-tiba segerobolan
pemuda sebesarku berlari membawa pedang, dan kayu aku lihat. Mereka sangat
banyak. Mungkin ada bom. Aku bersembunyi disisi bangunan itu. Ternyata mereka
dikejar oleh pemuda lain? Ada apa ini? Dikejar Pemuda yang mengejar itu jumlah
sangat banyak dan hampir semuanya membawa pedang tumpul. Aku ketakutan dan
masuk ke kamar penginapan untuk bertanya kepada pak tua. Ketika aku membuka
pintu, pak tua itu sudah tiada. Kamar itu kosong, sama seperti kamar lain. Aku
terjatuh tak tahan perutku kambuh lagi.
Akhir
hidupku ini akan kutuliskan dalam secarik cerita untuk Indonesia bahwa apa yang
ku alami adalah suatu mutiara yang tidak dapat dibeli oleh apapun. Hidupku ini
akan dipersembahkan untuk Tuhan saja yang telah menyelamatkanku dari orang gila
darah dan perempuan. Dengan cara menjual organku dan tidak mati seperti
keluargaku yang lain, aku juga senang melihat remaja sepertiku ternyata ada juga
yang bebas. Hal itu mungkin lebih baik.
Remaja-remaja
dalam sejarah akan terus diwarnai dengan getirnya perjuangan, bukan hal yang
tak penting, namun hal yang lebih penting. Indonesia adalah negara impian kaum
remaja dunia dengan banyak cerita bahagia didalamnya. Itu berbanding terbalik
bila dibandingkan dengan remaja sepertiku, remaja Palestina. Tapi sayangnya
remaja Indonesia kalah telak oleh remaja Palestina dalam hal kecintaannya
kepada sebuah negara, kepada tanah kelahirannya, kepada sebuah sesuatu yang
selama ini kita perjuangkan. Bersyukurlah teman.
3 komentar:
JIB INITUH BIKIN AKU NANGIS TAU GA, TAPI INITUH PANJANG BANGET DAN NGESCROLLNYA ITU KEBAWAH JAUH BANGET JADI AKU PRINT :'( kamu bikin sendiri? ini parah banget anjir.
iya banget jib. Indonesia kurang menghargai perjuangan leluhurnya, meskipun kita ngga pernah menang perang, tapi seengganya kemerdekaan kita ngga dibayar murah. udah merdeka malah digusrek2 sama bangsanya sendiri, bayangin kalo kita masih dijajah kaya dulu kita pasti kaya palestina dan pemuda2 indonesia cuma bisa update foto ke twitter sambil ngopi udud
terimakasih banyak syifa, siap, ente jg jangan pernah bosen bikin tulisannya okey, tulisan ente juga menggugah. hebaaaaat
Posting Komentar