Hal Itu Mungkin Lebih Baik



Awan itu menggambarkan kemenangan indah, kala ia menjadi biru terang benderang tanpa dilewati oleh sekelompok besi panas penyebar bala. Malam itu tak ada yang bergerak dari pemukiman dan rumah sakit. Biasanya tanda seperti ini mengindikasikan ledakan besar secara tiba-tiba. Kakekku mengintip dari belakang celah tembok kayu. Matanya menyusuri alam neraka disisi lain dari tembok kayu.

 Aku mencoba menyalakan radio menggunakan baterai yang dibawa oleh tentara-tentara pembunuh para petani. Jemariku tak tahan untuk terus memutar bulatan berigi-rigi radio kecil milik almarhum ayahku. Gelombang AM adalah gelombang pembawa pesan paling mewah yang dimiliki oleh rakyat Palestina. 97 AM menginformasikan persetujuan tentara zionis untuk menerima batalyon anyar dari Tel Aviv. Sulaiman memelukku dengan hangat, air matanya setiap hari membasahi dada, padahal setahun yang lalu kami berdua masih dapat bermain bola kain walaupun hal itu ditengah camp perbatasan. Namun seiring orang menganggap wajar perbuatan mereka yang mengatasnamakan perdamaian. Maka kaum yang memimpikan perdamaian ini tambah sengsara. Disinilah aku meratapi diriku sendiri. Aku punya kakek dengan tangan kiri cacat total, Sulaiman adikku baru berumur enam tahun. Sementara aku baru genap berumur enam belas tahun bulan Desember nanti, namun yang lebih parah lagi aku tak tahu bulan apa sekarang.

 Kakek mengajak kita keluar, mencari makanan apapun, desa Azzun memang terkenal dengan keganasannya. Namun tak menutup kemungkinan ada relawan yang diam-diam menebarkan makanan diluar. Kita berlari penuh asa keluar, daar.. tiba-tiba kami tidak bisa mendengar dan terpental sejauh 5 meter. Tulangku berusaha bergerak untuk bangun, berlari dari benda yang ditebarkan setan pencabut nyawa itu. Kakek tergeletak, aku tidak tega melihat Sulaiman, kaki kirinya putus, ia memang didepan tadi, karena ia melihat sinar salah satu tenda milik relawan. Dia seperti berteriak namun telingaku belum bisa mendengar. Aku menangis sambil memeluknya, berteriak minta bantuan siapapun yang datang. Tak terkecuali tentara suntikan yang kebetulan lewat. “tembaklah aku, tembaklah aku…”. Sulaiman menghapus air mataku, ia tidak teriak ternyata. Apa yang ia lakukan? ia hanya menambah air mataku jatuh. Aku membuka bajuku dan merobeknya dan mengikatnya di bagian pangkal kaki Sulaiman yang putus. Ia tersenyum padaku. Lalu tanganku mencoba meraba tangan kakek. Bom kedua dijatuhkan, tenda yang Sulaiman melihatnya ternyata punya warga sipil, itu sebabnya Israel mengebom tenda usang itu. Kami melihatnya terbakar, tak ada tanda-tanda kehidupan lagi disana. Sulaiman menatapku, ia tampak sangat pucat, sementara kakek belum sadar juga. Bom ketiga dijatuhkan sekitar empat meter dari samping kiriku. Aku menggotong Sulaiman dan meninggalkan kakek sendirian. Tak ada yang memerintah, kecuali benakku. Anehnya Sulaiman tak berteriak walaupun sedikit demi sedikit air matanya keluar dari samping kelopak, membuat jalan kesedihan dikedua bidang pipinya sambil berkata, “alangkah gembiranya hidupku ini..” . Bahkan Sulaiman mengajarkanku untuk diam ketika sakit mendera, ia melihat terus mataku yang sama-sama mngeluarkan air mata, namun lebih deras dan besuara.
            Apa yang terjadi? Bibirnya memucat, kegemesannya hilang dari pipi basahnya, ia menutup mata, nampaknya Sulaiman terlalu banyak mengeluarkan darah dari lututnya yang tanpa penyangga lagi. Aku terus mencari rumah sakit untuknya, untungnya kota Qalqiliya tidak seluas dulu, aku dapat mencari rumah sakit kecil dengan berlari terus. Mata ini mulai buram melihat jalan tanah, kepalaku mulai berat begitu juga dengan kakiku, dari jauh ada ambulan aktivis terlihat, aku tidak bisa melihat darimana mereka datang, aku tersungkur, sinar mobinya semakin terang dan hal itu tidak bisa kuteruskan lagi lihat.
            Aku terbangun seperti orang yang baru terlahir, pusingku menghampiri. Membawaku ke sebuah tempat yang bernama kamar. Mereka beramai-ramai mendoakanku seperti ibu dan keluargaku. Mereka mungkin adalah orang-orang dari seluruh dunia yang tak tega melihat kami karena kami tak tahu apakah ada negeri lain selain negeri kami? Apa itu bahagia? Siapa orang tuaku? Dan sebagainya. Anehnya lapar yang menemani perutku seketika hilang, aku ditanya darimana dan siapa nama orangtuaku. Ia memakai baju hitam berlogo burung didadanya. “ Azzun, Sadr” ia lalu memberiku roti yang sepertinya sudah dihancurkan lalu diberi air. Memang tak berasa, namun hal ini yang paling aku impikan. Tersirat dibenakku, dimana Sulaiman? Aku berteriak dimana Sulaiman, dimana Sulaiman kepada perempuan yang menanyaiku, lalu ia tersenyum sambil menahan air matanya keluar. Apakah Sulaiman itu yang kau gendong, dan kakinya..” ia tidak bisa melanjutkan, lalu kujawab, “Ya betul itu adikku, dimana dia? Bagaimana keadannya?”. Sebenarnya ketika kau gendong itu Sulaiman sudah meninggal, ketika kau tersungkur kami langsung berupaya menyelamatkan adikmu, namun memang kami manusia yang tidak bisa membangunkan orang mati, “Aku tak percaya, matakku mengeluarkan air mata tanpa kusadari. Inikah manusia? Apakah kami berperang melawan para hewan? Betapa kecewanya aku yang tak bisa melindunginya, bagaimana kakekku yang ku abaikan, apakah hanya aku yang punya nyawa berharga? Apakah mereka bekerja sama dengan tuhan? Apakah Tuhan menghukum kami dengan musibah ini?  Tentunya aku tidak akan bergabung menjadi setan setan mereka dengan menyalahkan Tuhan. Tuhan tahu mana yang salah, dan kami memang ditakdirkan untuk menang yang diwali dengan penderitaan. Walaupun kami tidak tahu kapan kemenangan akan jatuh di kulit-kulit kami.
            Benakku bergerak, sejenak ku melihat ruangan panjang rumah sakit ini. Semua orang sibuk dengan pelajaran-pelajarannya, sibuk dengan perintah benak-benak mulia yang diciptakan oleh Tuhan. Apakah semua orang punya benak? Aku pikir disini adalah tempat yang tidak baik buatku, benakku yang mengatakan itu, dan aku tak pernah tak percaya kepada benakku. Setelahku dinyatakan sembuh oleh para relawan tadi, aku akan mulai kehidupan baru tanpa keluargaku satupun. Ya betul, satupun. Air mata ini akan menjadi saksi bahwa orang-orang yang memutus kaki Sulaiman tak punya benak, bahkan akalpun mereka tak punya, bahkan rasa pun tak punya. Aku pernah mendengar sebuah berita dari negara Irak, aku mendengarnya diradio. Selain yang terbunuh warga seperti di Palestina, disana tentara-tentara barat pun tidak sedikit yang terbunuh. Namun semua itu disangkal oleh warganya, tak ada saksi yang menyimak bahwa mereka memang dibunuh. Lalu berita radio itu melanjutkan bahwa ternyata tentara-tentara itu terbunuh dalam suatu ruangan tertutup dengan tali di lehernya dan tergantung di pondasi atap rumah. Pertama kali aku berfikir mendengar cerita ini mungkin menurut tentara barat di Irak, lebih indah tergantung membunuh diri sendiri dari pada membunuh akalnya. Mereka lebih baik bunuh diri ketimbang membunuh balita yang sedang berjalan-jalan ditanahnya sendiri.
Setelah berfikiran tadi aku sadar kemballi ke dalam kehidupanku sendiri. Aku mulai berfikir untuk pergi dari tempat empuk ini. Relawan itu masuk dan memeriksaku lagi, “ufti[1] “ panggilku ragu. “Apakah aku sudah sembuh?” Dia tidak menjawab apapun, hanya memeriksa. Ya dia dari negara Eropa mungkin. Aku tahu orang Eropa itu rambutnya berwarna cokelat dan hidungnya mancung. Aku tahu dari bapakku. Dulu sebelum keadaan ganas seperti ini bapakku pernah ke masjidil Aqsha. Hah mungkin relawan ini tidak tahu apa maksudku pasti. Dag.. tiba-tiba pintu ruangan panjang yang aku tempati bersama anak-anak lain terbuka, seorang relawan menggotong satu remaja yang baru tertembak. Ia memegangi tulang rusuknya sebelah kanan, tanda bagian itu yang terkena tembakannya. Relawan itu berlari-lari kecil melihat tidak ada kasur yang kosong untuk operasi dadakan. Aku langsung berdiri dan menawarkannya. Relawan itu langsung menidurkan remaja tersebut yang masih dapat melihatku. Ia sempat berucap syukron ke padaku. Aku tersenyum dan diam-diam aku mulai pergi dari ruangan panjang itu. Tidak ada lagi makanan gratis yang lembut, tidak ada lagi minuman yang dingin, dan tidak ada lagi kasur yang empuk. Aku keluar dengan tatapan kosong. Sampai keluar dari rumah sakit besar itu benakku bergerak menuruni jalanan yang panjang, menuntun ke terowongan yang redup tanpa secercah cahaya. Terus berjalan, masuk ke dalam gang-gang sempit yang mudah untuk dihancurkan. Tiba-tiba aku melihat adanya gerombolan anak-anak dipojok gang itu. Ia melihatku dengan menodongkan senjata. Aku tak peduli dan mulai meminta makanan yang ia genggam. “Aku bersusah payah untuk mengambil ini, dari pos iblis. Kamu tahu? “ katanya.
“Aku tak peduli, aku sangat lapar, bolehkah ?” jawabku.
“ Ini mudah, kau bergabung denganku dan teman-temanku“. Ia menawari perang, mungkin itu hal yang paling kubenci saat ini. Namun ketika aku menggenggam kaki Sulaiman, aku marah, ingin sekali ku mencoba membunuh tentara yang mengudara tadi.
“Baiklah” jawabku. Kemudian ia menjulurkan tangan bersama roti keras miliknya. Aku akhirnya makan dengan lahap. Ia melanjutkan, “Ya Allah inilah saudaraku dengan segala kekurangannya. Ia sekarang tentara-Mu dengan segala kelebihannya.” Aku tak sengaja berucap amin. Ia membawaku ke gang yang tak pernah ku lalui sebelumnya. Sampai ia mulai berhenti di satu pintu yang tak bisa kulewati jika kami tidak bisa jongkok. “Inilah markas kami, kami para garda beristirahat di tempat ini.” Aku mengangguk-angguk. Tempat itu sedikit udara dan cahaya. Susah untukku memulai adaptasi ini.
            Datanglah empat orang tua dengan pistol panjang. Ia lumayan ramah, lalu menanyakan nama dan asal tempat tinggalku.
“ Mahdan, Haifa.” Kataku. Ia mulai menanyakan pertanyaan lanjutan. “Mengapa kau bisa sampai Qalqiliya? “
“Aku lari dari pengungsian karena tenda kami dipindahkan” kataku.
Ia mulai memberi pernyataannya “Mungkin yang paling tepat adalah pengusiran, semua orang disini tidak ada yang seberuntung kau. Anakku tewas saat pengusiran di Jaffa. Dua tembakkan yang menyedihkan. Di jantung satu dan satu lagi disini”. Ia menunjuk ke kepalaku. Aku mulai ketakutan. Apakah semua orang ini gila? Darimana mereka mendapat semua senjata ini?
“Ada satu syair yang selalu membuat kami terdiam sejenak dan kembali semangat menembak. Sebenarnya boleh kami bercerita Hamas yang membiayai kami. Sementara Fattah hanya partai yang mengusung perdamaian tanpa dasar saja. Kau tahu itu.”
Apa yang ia bicarakan? Tapi aku tak buta, aku tahu Hamas dan Fattah adalah dua partai pada pemilu aneh empat tahun yang lalu. Hamas unggul waktu itu, bapakku yang mendukung Hamas dan banyak orang dipengungsian waktu itu memilih Hamas. Namun sudah lama aku tak mendengar nama partai itu sampai bapak berjanggut putih ini menyebutkan namanya lagi. Ternyata diam-diam Hamas melawan tentara Israel.  “Lalu dimana sekarang Fattah?” kataku.
“Hmm..  kita tak pernah tahu dimana mereka sekarang, mungkin dimeja perundingan dan tertidur. Lupa pada kami, pada rakyat-rakyat yang pernah memilihnya, lupa pada tanah-tanah kami. Berapa umurmu nak? Tanyanya.
“Bulan apa sekarang? Desember aku akan berumur 16 tahun. Muharam tepatnya.” Kataku
“Sekarang bulan haji, Oktober. Aku akan melanjutkan syair yang membuat kami terdiam sekaligus semangat. Sebenarnya ini tentang kau, Fahmi, dan Ali. Ini mengingatkan masa mudaku” Oh ternyata roti keras itu milik Fahmi, ia yang sombong dan memakai persyaratan segala untuk meminta roti keras itu. Bapak itu melanjutkan,
“ekhem ekhem ..
Tak ada sesuatupun yang indah kecuali bunga kenangan
Sebagian mereka terbang bersama ingatan muda
Bunga itu dihirup oleh kerinduan dan menari-nari dalam pikiran
Remaja yang harusnya mencintai para gadis jelita
Malah bercinta dengan kepingan peluru baja
Tak ada puisi, tak ada bukti, tak ada hati
Remaja oh remaja..
Kau tak pantas hidup di Laut hati.
Disini kau tampak binasa oleh musibah ini
Disini kau tampak cacat oleh tanahmu sediri
Semua menangis dan menikmatinya. Fahmi pun menangis sambil mengusap-usap AK-47. “Inilah akhir semuanya, ketika kau menjadi remaja disini, kau salah. Karena kau wajib untuk menembak mereka yang membunuh sanak keluarga mereka, itu kewajiban. Diplomasi yang dilakukan sekarang hanyalah sebuah hal yang sia-sia. Lihat Fattah, mereka telah berunding mengelilingi dunia tak ada hasilnya. Senjata lah yang menang disini.”
            Apa yang terjadi dalam pikiranku campur aduk, disatu sisi pernyataannya benar, namun apakah mereka sering mempengaruhi orang untuk mengangkat senjata. Aku memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah yang dilakukan oleh bapak ini ada kepentingan orang?” Ia lalu tertawa, tanda mengejek. Ia menjawab, “Kalau apa yang kita lakukan ini dilakukan demi Hamas, atau Fattah, atau kakekku, untuk apa aku banyak berbicara pada kau, pada remaja-remaja ini, pada teman-temanku ini, saya bisa berjuang sendiri dan mengorbankan diriku sendiri.” Katanya.
            Semua keluar tanpa baju perang dan senjata. Kita berwudhu dengan khidmat memakai sisa minum. “Fahmi mengapa kau tidak shalat?” kataku. “Oh ia, maaf aku seorang nasrani” jawabnya. Aku terheran-heran, untuk apa orang nasrani berperang? Mengapa Fahmi namanya namun ia adalah seorang nasrani? Yang jelas perang ini untuk tanah hak kita, bukan perang agama. Setelah shalat shubuh, semua berpencar, misi kami mencari makanan dan amunisi di dalam lubang dekat kali-kali, atau pusat kota. Lubang ini adalah hasil kerja tangan rakyat bangsaku. Sungguh bangga kami dapat membuat berpuluh-puluh kilometer terowongan illegal. Aku tampak asing masuk terowongan ini. Sempit, sesak, dan panas menjadi suasana garda revolusi yang menggelora. Kubawa dua lipat roti dan aku langsung keluar sendirian. Ali masih didalam. Aku melihat heli terbang diatas kepalaku, tanpa berfikir panjang aku berlindung disebuah bangunan yang masih berdiri dekat terowongan itu. Lalu aku berlari lagi ke dalam bangunan rusak bekas sekolah yang dibombardir oleh tank binatang. Aku melihat sendiri, helicopter itu mendaratkan dua tentaranya bersenjata lengkap lalu melempar bom waktu, mungkin CD-4 yang pernah ditemukan ayahku. Lalu helicopter itu membawanya terbang dan menghilang, tidak lama ledakan besar menggetarkan tanah yang kupijak. Sungguh ironis Hilmi. Aku tak dapat menahan nangis lagi, kutumpahkan semuanya didalam bangunan itu sampai malam.
            Paginya kuberanjak dengan mata lebam, roti itu masih bersisa banyak namun tak enak lagi, sebab malam kemarin aku santap malam bersama tikus dengan romantis. Tanpa tujuan, itulah pikiranku. Aku sudah tak peduli tentara datang dan menembakku lalu menelanjangiku sebagai tanda untuk menghina bangsa kami. Jalan itu lurus, penuh debu dan sepi. Aku melihat mobil datang dengan tergesa-gesa lalu berhenti mendadak. Aku tak mempedulikannya, namun ia mengajakku ke negeri Australia katanya. Ia akan ke Gaza lalu menaikki kapal. Aku tak mempedulikan apa yang dia khayal lalu mengatakkannya kesana kemari. Tapi mungkin ia punya minuman, akhirnya aku ikut dengannya. “Apa kau punya air?” tanyaku. “Ya ada, ambilah dibelakang,” ia melanjutkan “ kenapa kau sampai ada disini? “
“Aku tak tahu, mungkin tuhan punya kehendak yang lain. Kau sendiri mengapa sampai bisa membawa mobil ini? ”
“Aku adalah seorang Yahudi, aku mengajakmu karena aku adalah seorang aktivis. Jika aku tidak menghentikan langkahmu, kau akan bertemu para prajurit Amerika disana. Aku bebas mengendarai sesuka hatiku karena aku adalah mandor pasukan 5 Al-Quds. Walaupun aku tak bekerja apa-apa, malahan akulah yang banyak menggagalkan muslihat jahat Netanyahu”
“Bagaimana bisa? Australia itu apa? Lalu Netan.., Netan siapa? Itu siapa? Kataku.
“Aku seorang Yahudi namun bukan seorang zionis, aku lahir dari keluarga yang berada dan dihormati. Hey apa pedulimu? Jawabnya. Sampai malam ia bercerita bahwa ia hampir saja ketahuan menjadi musuh zionis sampai ia ditunjuk menjadi panglima bayangan. Di akhir cerita aku ketiduran dan tak ingat sampai mana ia bercerita.
            Sampai di Gaza ia berbicara menggunakan bahasa yang tak kupahami dengan tentara. Tentara itu hormat dan memberi mereka tumpangan sampai Mesir menggunakan kapal laut. Aku ikut dan ingin tahu seperti apa Australia itu. Diperjalanan, pak tua itu tidak banyak berbicara, ia diam melihat lautan. Setibanya di Mesir pukul dua pagi aku lihat dermaga kecil. Orang-orang banyak yang berpelukan hangat. Setelah lama-lama menunggu ternyata kita memakai perahu kembali. Namun perahu ini lebih kecil walaupun lebih cepat. “Apakah kita benar-benar ke Australia?” tanyaku kepada pak tua itu. “Kita optimis saja, semoga angin tidak menerpa kita. Kau tidur saja.” (sambil menawarkan satu botol air putih)
“Baiklah aku tidur, bolehkah aku menghabiskan minuman ini? Tanyaku.
“Ya silahkan, itu lebih baik”.
Aku memang terasa pusing hari-hari ini, mungkin karena menahan tidur cukup lama, dan akhirnya aku tertidur.
            Aku melihat satu cercah cahaya yang amat terang, namun itu bukan matahari, tapi lampu. Tepat, aku berada dirumah sakit sekarang. Aku terbangun dengan rasa sakit diperut sebelah kananku. “Ahhh…” jeritku. “Apakah kau sudah sadar nak?”. Tanya pak tua.
“Ada apa ini? Kenapa aku disini, ah sakit…”
“Kau kuperiksa, ternyata kau punya sebuah penyakit berat dan harus segera dioperasi. Kita sekarang di Indonesia. Negara diatas Australia, tempat ini lumayan bagus. Indonesia adalah tempat impian kaum remaja sepertimu” jawabnya.
“Benarkah? “ Tanyaku
“Ya, tidurlah sekarang, besok kita jalan-jalan” jawabnya.
Sekali lagi pak tua itu memang sangat baik, aku tak sabar untuk hari besok tiba.
            Besoknya, dia memang mengajakku jalan-jalan. Aku lihat Indonesia ini seperti surga.  Mungkinkah aku hanya bermimpi? Dimobil aku melihat pak tua tak berbicara apa-apa, aku mulai berbicara, ”Afwan, dari mana mobil ini? Lalu mobilmu yang dulu kemana?”
“Hahaha, biarkan itu urusanku, kau jangan banyak pikiran.” Jawabnya. Keherananku tersapu dengan banyaknya pemuda sepertiku yang bebas. Sayangnya mereka terlalu banyak tertawa bila dilihat. Tiba-tiba pak tua itu berhenti disuatu penginapan yang sangat kotor. “Kita akan hidup disini sekarang” kata pak tua. Aku sangat kegirangan, namun mulai menagis. Kasihan kakek, Sulaiman, ibu, bapak, nenek, pamanku. Seandainya kita di tempat ini bersama.
            Setelah semuanya beres, aku keluar, perutku terasa sangat sakit. Tiba-tiba segerobolan pemuda sebesarku berlari membawa pedang, dan kayu aku lihat. Mereka sangat banyak. Mungkin ada bom. Aku bersembunyi disisi bangunan itu. Ternyata mereka dikejar oleh pemuda lain? Ada apa ini? Dikejar Pemuda yang mengejar itu jumlah sangat banyak dan hampir semuanya membawa pedang tumpul. Aku ketakutan dan masuk ke kamar penginapan untuk bertanya kepada pak tua. Ketika aku membuka pintu, pak tua itu sudah tiada. Kamar itu kosong, sama seperti kamar lain. Aku terjatuh tak tahan perutku kambuh lagi.
            Akhir hidupku ini akan kutuliskan dalam secarik cerita untuk Indonesia bahwa apa yang ku alami adalah suatu mutiara yang tidak dapat dibeli oleh apapun. Hidupku ini akan dipersembahkan untuk Tuhan saja yang telah menyelamatkanku dari orang gila darah dan perempuan. Dengan cara menjual organku dan tidak mati seperti keluargaku yang lain, aku juga senang melihat remaja sepertiku ternyata ada juga yang bebas. Hal itu mungkin lebih baik.
            Remaja-remaja dalam sejarah akan terus diwarnai dengan getirnya perjuangan, bukan hal yang tak penting, namun hal yang lebih penting. Indonesia adalah negara impian kaum remaja dunia dengan banyak cerita bahagia didalamnya. Itu berbanding terbalik bila dibandingkan dengan remaja sepertiku, remaja Palestina. Tapi sayangnya remaja Indonesia kalah telak oleh remaja Palestina dalam hal kecintaannya kepada sebuah negara, kepada tanah kelahirannya, kepada sebuah sesuatu yang selama ini kita perjuangkan. Bersyukurlah teman.


[1] Maaf

3 komentar:

Nandita Syifa Fadillah mengatakan...

JIB INITUH BIKIN AKU NANGIS TAU GA, TAPI INITUH PANJANG BANGET DAN NGESCROLLNYA ITU KEBAWAH JAUH BANGET JADI AKU PRINT :'( kamu bikin sendiri? ini parah banget anjir.

Nandita Syifa Fadillah mengatakan...

iya banget jib. Indonesia kurang menghargai perjuangan leluhurnya, meskipun kita ngga pernah menang perang, tapi seengganya kemerdekaan kita ngga dibayar murah. udah merdeka malah digusrek2 sama bangsanya sendiri, bayangin kalo kita masih dijajah kaya dulu kita pasti kaya palestina dan pemuda2 indonesia cuma bisa update foto ke twitter sambil ngopi udud

Najib mengatakan...

terimakasih banyak syifa, siap, ente jg jangan pernah bosen bikin tulisannya okey, tulisan ente juga menggugah. hebaaaaat

Posting Komentar