Karen Amstrong sendiri adalah
seorang biarawati, ia berkata “Sejak kecil saya telah memiliki kepercayaan
keagamaan yang kuat, tetapi dengan sedikit keimanan kepada Tuhan. Ada perbedaan
Antara kepercayaan kepada seperangkat
proposisi dengan keimanan yang
memampukan kita menaruh keyakinan akan kebenaran proposisi proposisi itu.
Secara implisit, saya percaya Tuhan itu ada; saya juga beriman kepada kehadiran
sejati Kristus dan Ekaristi, kepada kebenaran Sakramen, kepada kemungkinan
keabadian neraka, dan kepada realitas objektif peleburan dosa. Akan tetapi,
saya tidak bisa mengatakan bahwa kepercayaan saya terhadap semua ajaran agama
tentang realitas hidup sejati ini memberi bukti bermanfaat dan baik. “
“ Keyakinan masa kecil saya tentang
ajaran katolik Roma lebih merupakan suatu kredo yang menakutkan; saya
mendengarkan khotbah tentang api neraka. Kenyataanya, neraka merupakan suatu
realitas yang lebih menakutkan daripada Tuhan karena neraka merupakan
realitas yang betul-brtul bisa saya
pahami. Sementara Tuhan merupakan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui
abstraksi intelektual daripada imajinasi.” Kata Karen Amstrong.
Uraian beliau membuat
pertanyaan-pertanyaan secara ujug-ujug
muncul dari benak kita, seperti apa yang diuraikan bealiau berikut ini.
“Ketika berumur delapan tahun, saya
pernah diharuskan menghafal jawaban katekismus terhadap pertanyaan “Apakah
Tuhan Itu?”: “Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan sendirinya dan Dia
sempurna tanpa batas.” Tidak mengherankan jika konsep itu kurang bermakna buat
saya.” Katanya
Lalu pada pengantarnya yang
kompleks, ada pertanyaan lain muncul. Karen Amstrong di akhir pengantarnya:
“Ini membawa sayake titik yang
sulit. Karena Tuhan ini telah terlanjur secara khusus dikenal sebagai berjenis “laki-laki”,
dan dalam Bahasa Inggris kaum monoteis lazim merujuk kepada-Nya dengan kata
ganti “he”. Pada masa sekarang, kaum feminis dengan sadar menaruh keberatannya
terhadap hal ini. Akan tetapi, dalam Bahasa Yahudi, Arab, dan Perancis, gender
gramatikal memberikan nada dan dialektikal seksual terhadap diskursus teologis,
yang justru dapat memberikan keseimbangan yang sering tidak terdapat dalam Bahasa
Inggris. Misalnya kata Arab Allah (nama
tertinggi bagi Tuhan) adalah maskulin secara gramatikal, tetapi kata untuk
esensi Tuhan yang ilahiah dan tak terjangkau, Al-Dzat adalah feminine
Namun
Kajian saya tentang sejarah agama telah mengungkapkan bahwa manusia adalah
makhluk spiritual. Ada alasan kuat untuk berpendapat bahwa homo sapiens juga
merupakan Homo religious. Manusia mulai menyembah dewa-dewa segera setelah
mereka menyadari diri sebagai manusia; mereka menciptakan agama-agama pada pada
saat yang sama ketika mereka menciptakan karya-karya seni.
_Karen Amstrong.
0 komentar:
Posting Komentar